Dramaturgi Erving Goffman ; Kehidupan Hanyalah Sebuah Sandiwara
Kehidupan
sosial tidak pernah lepas dari yang namanya interaksi sosial antar individu,
oleh karena itu hal tersebut kerapkali menjadi fokus kajian oleh para sosiolog.
Begitu juga dengan Erving Goffman seorang sosiolog asal Kanada, ia lahir pada
11 Juni 1922 dan meninggal pada 19 November 1982 di Amerika Serikat. Karier
akademisnya bermula dari Universitas California, Berkeley dan menjadi profesor
di jurusan sosiologi di Universitas tersebut. Gelar akademis selanjutnya ia dapatkan dari
Univeristas Chicago, yang membuatnya sering disebut sebagai intraksionis
simbolik dari aliran Chicago. Pemikiran Goffman juga terpengaruhi oleh
tokoh-tokoh intraksionisme simbolik dari mazhab Chicago, tidak terkecuali
George Herbert Mead. Konsepsi Goffman tentang diri juga berutang secara
mendalam kepada ide-ide Mead
Salah
satu teorinya yang masyhur adalah “Dramaturgi”. Perkenalan saya dengan teori
dramaturgi dimulai dari petualangan saya membaca buku “Kisah Sosiologi” karya
Kevin Nobel Kurniawan, dalam buku tersebut dramaturgi diartikan sebagai sebuah
tindakan seorang individu dalam merepresentasikan diri di tengah lingkungan
sosial. Dramaturgi juga dapat diartikan sebagai sebuah pandangan mengenai
kehidupan sosial sebagai serangkaian sandiwara dramatik yang mirip dengan yang
ditampilkan di atas panggung
Seperti
sebuah pentas teater dengan berbagai peran dan lakon di dalamnya, Goffman melalui
dramaturginya mencoba mengambarkan kehidupan sosial masyarakat sebagai sebuah
pentas sandiwara atau gimik semata. Dalam sebuah sandiwara pemeran atau aktor
akan berusaha sebisa mungkin untuk merepresentasikan dirinya dengan peran apa
yang ia bawa, agar para penonton atau audiens menganggap bahwa ia benar-benar
melakukan hal tersebut. Dengan begitu manusia ibarat seseorang yang sedang
memainkan sebuah pertunjukan di depan panggung. Dalam panggung tersebut
terdapat panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back
stage).
Dalam
kehidupan sosial sehari-hari, ketika sedang berinteraksi dengan orang lain kita
akan berusaha memperlihatkan image atau pesona kita sebaik mungkin, agar orang yang
berintraksi dengan kita menganggap bahwa kita adalah orang baik atau bahkan
menarik dan memiliki karismatik (front stage)
Selain
berpura-pura di depan audiens, para aktor juga kerapkali menyembunyikan
berbagai hal di dalam pentas mereka. Seperti kesenangan pribadi, atau kesedihan
yang dihadirkan oleh keadaan rumah yang rumit untuk dibahasakan. Begitu juga
dengan kita, tidak jarang kita berpura-pura dalam keadaan baik-baik saja, hanya
agar orang lain tidak mengaggap kita sedang memiliki masalah atau mungkin
justru kita berpura-pura bahagia hanya untuk menghibur hati orang lain (back
stage).
Sebagai
sebuah contoh, saya akan menceritakan sebuah kehidupan di Pondok Pesantren.
Karena menurut saya kehidupan di pesantren sangat melekat dengan teori ini.
Dikisahkan ada seorang santri bernama Fairus. Ketika ia ingin menjalan
kegiatannya di pesantren seperti mengaji, musyawarah dan lain sebagainya tentu
ia akan memainkan perannya sebagai seorang santri, ia akan berpakaian
menggunakan sarung, peci dan baju koko. Selain itu juga ia membawa kitab, buku
dan alat tulis lainya. Dia juga agak
bersikap sebagai seorang santri yang ta'dzhim, biasanya dengan
membungkukan badanya dihadapan Kyai atau Ustadnya. Kehidupan sosial seperti
itulah yang menjadi bagian depan panggung
(front stage).
Ketika
Fairus sedang pulang kerumah dia adalah individu yang berbeda atau tidak
menonjolkan perannya sebagai santri. Mungkin yang biasanya di pesantren setiap
hari menggunakan sarung, peci dan pakain khas pesantren lainnya, ketika di
rumah justru jarang sekali menggunakan pakaian tersebut. Kondisi itulah yang di
sebut back stage / di balik layar atau panggung. Seperti sebuah keadaan
di panggung sandiwara atau lokasi shooting. Para aktor yang berada di belakang
panggung tentu akan melakukan hal yang berbeda dengan apa yang ia lakukan di
depan panggung.
Begitulah
sedikit refleksi tentang teori dramaturginya Erving Goffman. Sebagai seorang
makhluk sosial yang membutuhkan perhatian dari orang lain, mungkin secara sadar
atau tidak kita sering melakukan hal tersebut. Kita kadang berpura-pura baik
hanya untuk memikat hati seseorang, atau kadang kita berpura-pura terluka hanya
untuk mendapatkan perhatian dari orang yang kita sayang. Secara tidak sadar
dengan hal itu kita sedang mempraktikan teori dramaturginya Erving Goffman.
Referensi
Ritzer,
George. (2012). Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Postmodern. Penerjemah: Saut Pasarib, Rh. Widada, Eka Adinugraha. Yogyakarya:
Pustaka Pelajar
Kurniawan,
Kevi Nobel. (2020). Kisah Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Komentar
Posting Komentar