Dramaturgi Erving Goffman ; Kehidupan Hanyalah Sebuah Sandiwara

 


Zidan Al Fadlu - 20107020007
Teori Sosiologi Agama
Dosen Pengampu ; Bapak Bj. Sujibto M.A
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kehidupan sosial tidak pernah lepas dari yang namanya interaksi sosial antar individu, oleh karena itu hal tersebut kerapkali menjadi fokus kajian oleh para sosiolog. Begitu juga dengan Erving Goffman seorang sosiolog asal Kanada, ia lahir pada 11 Juni 1922 dan meninggal pada 19 November 1982 di Amerika Serikat. Karier akademisnya bermula dari Universitas California, Berkeley dan menjadi profesor di jurusan sosiologi di Universitas tersebut.  Gelar akademis selanjutnya ia dapatkan dari Univeristas Chicago, yang membuatnya sering disebut sebagai intraksionis simbolik dari aliran Chicago. Pemikiran Goffman juga terpengaruhi oleh tokoh-tokoh intraksionisme simbolik dari mazhab Chicago, tidak terkecuali George Herbert Mead. Konsepsi Goffman tentang diri juga berutang secara mendalam kepada ide-ide Mead (Ritzer, 2012).  

Salah satu teorinya yang masyhur adalah “Dramaturgi”. Perkenalan saya dengan teori dramaturgi dimulai dari petualangan saya membaca buku “Kisah Sosiologi” karya Kevin Nobel Kurniawan, dalam buku tersebut dramaturgi diartikan sebagai sebuah tindakan seorang individu dalam merepresentasikan diri di tengah lingkungan sosial. Dramaturgi juga dapat diartikan sebagai sebuah pandangan mengenai kehidupan sosial sebagai serangkaian sandiwara dramatik yang mirip dengan yang ditampilkan di atas panggung (Ritzer, 2012). Secara sederhana menurut sudut pandang saya dramaturgi ialah sebuah aktifitas berpura-pura di tengah masyarakat untuk membangun citra yang baik dihadapan orang lain.  

Seperti sebuah pentas teater dengan berbagai peran dan lakon di dalamnya, Goffman melalui dramaturginya mencoba mengambarkan kehidupan sosial masyarakat sebagai sebuah pentas sandiwara atau gimik semata. Dalam sebuah sandiwara pemeran atau aktor akan berusaha sebisa mungkin untuk merepresentasikan dirinya dengan peran apa yang ia bawa, agar para penonton atau audiens menganggap bahwa ia benar-benar melakukan hal tersebut. Dengan begitu manusia ibarat seseorang yang sedang memainkan sebuah pertunjukan di depan panggung. Dalam panggung tersebut terdapat panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, ketika sedang berinteraksi dengan orang lain kita akan berusaha memperlihatkan image atau pesona  kita sebaik mungkin, agar orang yang berintraksi dengan kita menganggap bahwa kita adalah orang baik atau bahkan menarik dan memiliki karismatik (front stage)

Selain berpura-pura di depan audiens, para aktor juga kerapkali menyembunyikan berbagai hal di dalam pentas mereka. Seperti kesenangan pribadi, atau kesedihan yang dihadirkan oleh keadaan rumah yang rumit untuk dibahasakan. Begitu juga dengan kita, tidak jarang kita berpura-pura dalam keadaan baik-baik saja, hanya agar orang lain tidak mengaggap kita sedang memiliki masalah atau mungkin justru kita berpura-pura bahagia hanya untuk menghibur hati orang lain (back stage).

Sebagai sebuah contoh, saya akan menceritakan sebuah kehidupan di Pondok Pesantren. Karena menurut saya kehidupan di pesantren sangat melekat dengan teori ini. Dikisahkan ada seorang santri bernama Fairus. Ketika ia ingin menjalan kegiatannya di pesantren seperti mengaji, musyawarah dan lain sebagainya tentu ia akan memainkan perannya sebagai seorang santri, ia akan berpakaian menggunakan sarung, peci dan baju koko. Selain itu juga ia membawa kitab, buku dan alat tulis lainya.  Dia juga agak bersikap sebagai seorang santri yang ta'dzhim, biasanya dengan membungkukan badanya dihadapan Kyai atau Ustadnya. Kehidupan sosial seperti itulah yang menjadi bagian depan panggung   (front stage).

Ketika Fairus sedang pulang kerumah dia adalah individu yang berbeda atau tidak menonjolkan perannya sebagai santri. Mungkin yang biasanya di pesantren setiap hari menggunakan sarung, peci dan pakain khas pesantren lainnya, ketika di rumah justru jarang sekali menggunakan pakaian tersebut. Kondisi itulah yang di sebut back stage / di balik layar atau panggung. Seperti sebuah keadaan di panggung sandiwara atau lokasi shooting. Para aktor yang berada di belakang panggung tentu akan melakukan hal yang berbeda dengan apa yang ia lakukan di depan panggung.

Begitulah sedikit refleksi tentang teori dramaturginya Erving Goffman. Sebagai seorang makhluk sosial yang membutuhkan perhatian dari orang lain, mungkin secara sadar atau tidak kita sering melakukan hal tersebut. Kita kadang berpura-pura baik hanya untuk memikat hati seseorang, atau kadang kita berpura-pura terluka hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang yang kita sayang. Secara tidak sadar dengan hal itu kita sedang mempraktikan teori dramaturginya Erving Goffman.

 

Referensi

Ritzer, George. (2012). Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Postmodern. Penerjemah: Saut Pasarib, Rh. Widada, Eka Adinugraha. Yogyakarya: Pustaka Pelajar

Kurniawan, Kevi Nobel. (2020). Kisah Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Sebuah Catatan Tentang Cinta"