Dari hidup, dan untuk hidup.


Aku pernah bermimpi tentang hidup yang senantiasa baik-baik saja. Tercukupi sandang, pangan dan papan-nya. Namun, sepanjang hidup aku belajar tentang banyak hal. Tentang sesuatu yang tak pernah ternilai. Di sudut terkecil sebuah peta teritorial, di gubuk sederhana nan besar. Aku dilahirkan dengan segala hormat, dari rahim seorang Ibu yang kuat, dan dari seorang bapak yang teramat hebat. Dalam gubuk itu, dalam likaran keluarga kecil itu, aku belajar tentang hidup yang begitu terjal, penuh keprihatinan, dan pengharapan. 
Terlahir dari keluarga yang tergolong sederhana, agaknya menjadi anugrah paling besar yang diberkati Tuhan. Bagaimana tidak, kesederhanaan, bukan berarti mengajarkan hidup untuk bermalas-malasan. Justru, kesederhanaan, memberikan pelajaran tentang hidup yang senantiasa harus diperjuangkan. Ibu dan Bapakku bukan orang kaya, mereka sama-sama dari keluarga yang latar belakangnya tidak punya. Untuk makan, Bapak selalu bekerja dari pagi hingga petang. Tanpa lelah Ibu mengurus segala urusan rumah dari fajar hingga sore menjelang. Dengan segala keterbatasan itu, mereka mampu membesarkan kedua anaknya, mencukupi segala kebutuhannya, dan menjamin akses pendidikannya. 

Dahulu, aku memang tidak pernah mengerti akan tanggung jawab itu, yang aku tahu segala kebutuhan harus tercukupi, segala keinginan harus terpenuhi. Hingga saat bertumbuh menjadi seorang manusia dewasa, aku menyadari akan hidup yang tidak begitu-begitu saja. Pasang dan surutnya kehidupan, begitu terasa menggajal dalam hati dan pikiran. Melihat kedua orang tua yang mulai semakin rentan, melihat persoalan hidup yang begitu memilukan, serta melihat betapa sulitnya, dan betapa beratnya mempertahkan suatu penghidupan yang normal, dan bisa memberikan kesejahteraan.

Ah.... agaknya hidup memang demekian, tidak melulu kita akan selalu berada pada posisi yang kita inginkan, adakalanya kita harus terjun jauh kedalam sebuah ratapan. Di mana kita akan terbiasa menerima suatu keadaan. Aku pernah diajari tentang suatu sikap menghadapi hidup yang berat. Kata ibu, aku harus menjadi seseorang yang mampu prihatin terhadap segala kondisi dan keadaan. Kata bapak, aku harus menjadi kuat dan mampu menghadapi hidup yang pahit nan sesak.

Dan, seperti itulah hidup, kadang kita berada diposisi teratas, terkadang juga kita berada diposisi terbawah. Namun, terlepas dari laku-lampah kehidupan yang demikian, kita selalu diajarkan untuk senantiasa sabar, dan percaya bahwa semua telah Tuhan gariskan. Yang terpenting adalah asal kita masih bisa makan, tidur dengan tenang. Artinya kita masih baik-baik saja. 

So, untuk kalian yang hidup dengan ketercukupan finansial, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kita tidak akan pernah tahu kapan roda nasib berputar, kita tidak pernah tahu kapan Tuhan memberhentikan. Selagi masih ada, selagi masih punya, gunakan dan manfaatkan untuk bekal kehidupan yang akan datang. Waktu akan terus berjalan tanpa henti, tanpa kita ketahui.

Harapan tidak akan pernah pupus. Ia hanya sedang berbagi waktu dengan kenyataan. Tidak bisa sekarang, masih ada besok atau lusa. Atau kapan pun selagi mentari masih terbit dari ufuk timur. Yang terpenting untuk saat ini adalah dengan terus berusaha, berpasrah dan berdoa, untuk kebaikan dan keselamatan.

Salam..... 
Zidan Al Fadlu.
Ciasem, 22 Feb. 21.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Sebuah Catatan Tentang Cinta"